MENGENANG GOA JEPANG SINGKIL

Mengenang Goa Jepang Singkil

Tidak banyak yang tahu, ternyata disekitaran perbukitan komplek pekeburan suku Bantik, Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara, menyimpan bukti sejarah masa perang Kemerdekaan Republik Indonesia yakni berupa goa yang dibuat manusia bukan karena bentukan alamiah. 

Kesaksian warga setempat, sering menyebut lokasi ini dengan goa Jepang, karena keberadaan goa ini merupakan berkat penggerjaan orang-orang Jepang saat menginvasi wilayah Manado. Goa ini adalah peninggalan jaman penjajahan Jepang, kala perang Asia Pasifik.

Menyusuri ke tempat Goa ini terbilang mudah. Lokasinya ada dikeramaian pemukiman penduduk Kelurahan Singkil Satu, Lingkungan Lima, Jalan Arie Lasut, Kota Manado. Strategis, cukup menggunakan kendaraan motor, melalui jalur darat, kita dapat tempuh dengan mudah menuju goa. 

Tepat siang itu, sekitar pukul 13.00 Wita, Selasa 12 Juni 2012, cuaca agak mendung. Sinar terik matahari tak terangi Singkil, namun tidak menyurutkan aku untuk sambangi goa Jepang Singkil.

Ini pengalaman pertama saya masuk ke dalam goa Jepang Singkil. Niat masuk ke goa dilatarbelakangi oleh rasa penasaran saya yang kuat, akan pengetahuan goa peninggalan dari Negara Matahari Terbit, Jepang. 

Lagi pula, jika hanya mendengar cerita-cerita dari mulut orang per orang, rasanya kurang maksimal. Sepertinya tidak seru, kalau tidak mencobanya masuk ke dalam mulut Goa Jepang Singkil ini secara langsung. Ada sensasi tersendiri andai bisa masuk ke goa ini, bisa melihat, meraba, dan menghirup aroma goa.

Suasana pintu masuk ke dalam goa Jepang Singkil pada Selasa 12 Juni 2012. Anak-anak yang tinggal disekitaran goa ini sering bermain di tempat ini. (photo by Jongfajar Kelana)

Setiba dilokasi, berjarak sekitar 50 langkah kaki dari goa Jepang tersebut, ada beberapa anak bermain di pelataran kediaman warga setempat. Rumah ini pemiliknya bernama Albert Mandey Roring. Aku pun meminta ijin kepada Albert Mandey Roring, yang secara kebetulan rumahnya berdekatan dengan goa Jepang Singkil. Memohon ijin untuk masuk wilayah Goa Jepang.

Kala ku ucapkan niat untuk masuk goa, spontan beberapa anak yang bermain dipekarangan Albert mendengar, mereka antusias, juga ingin ikut bersama ku masuk ke Goa Jepang. Tapi imbuh, Albert, tidak apa-apa mengajak anak-anak. 

Pasalnya anak-anak sudah terbiasa masuk di Goa dan mengetahui sekali medan kondisi Goa. Mendengar hal itu, tentu aku senang, sebab aku tidak akan direpotkan untuk menjaga keberadaan anak-anak di dalam goa nanti.

Alangkah baiknya, Albert Mandey Roring memodali ku sebuah lampu senter untuk penerangan dalam goa. Maklumlah di dalam goa tidak ada lubang ventilasi cahaya, apalagi penerangan aliran listrik. Usai ku terima senter, mulai bergegaslah aku bersama anak-anak untuk masuk ke goa.

Sebelum masuk ke goa, persiapan sederhana perlu dilakukan. Yang pertama tidak lupa untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya diberi perlindungan dan lancar jaya. Persiapan yang kedua yakni melepas alas kaki, buat mereka yang hanya menggunakan sandal jepit. Tapi buat yang sudah memakai sepatu sport, tidak perlu lagi dilepas.  

Karena berdasarkan gambaran dari Albert Mandey Roring, kondisi di dalam goa itu alamnya bercadas dan berair. Maka ku putuskan, lebih baik bertelanjang kaki agar aman, praktis, dan tentunya lebih menyatu dengan daratan goa Jepang Singkil.

Persis sekitar pukul 13.30 Wita, masuklah aku bersama anak-anak tadi. Ku pantau, di pintu masuk, lebar mulut goa ukurannya sekitar 2 meter.  Kira-kira, dapat dimasukan dua orang dewasa. Ditengah jalan goa, ada selokan berair. "Hati-hati kak jalannya licin, ada air," imbuh Rivo, kepada ku.

Susuri jalan goa, di tiap pinggir-pinggir kanan goa, ku temukan galian sumur. Dihitung-hitung ada tiga sumur. Dua sumur kecil tidak jauh dari mulut goa dan satunya lagi berukuran besar, berjarak sekitar dua puluh langkah dari mulut goa. "Ini sumur air ya," tanya ku. Ku coba perhatikan secara seksama, air di sumur itu masih dalam kondisi baik, bersih, bening.

Ku sentuh air itu, rasanya dingin. "Ini sumurnya dalam atau tidak," tanya ku lagi. Dan sahut Rivo, itu sumur airnya masih berfungsi, kadang ada orang-orang mengambil airnya untuk dimanfaatkan. 

"Sumurnya tidak dalam kak, dangkal. Airnya itu dari mata air dari tembok goa," ujarnya yang kala itu menggunakan kaos sebuah sepak bola dari klub eropa.

Suasana goa yang gelap dan banjir mata air asli goa. (photo by Jongfajar Kelana)

Medan goa untuk masuk lebih ke dalam cukup menantang. Persis berbatasan sumur air yang ketiga, jalannya menanjak dan berlubang. 

Bentuk lubang menyerupai jurang, lebar setengah meter dan berair. Untuk melanjutkan perjalanan, mau tidak mau harus seberang lubang jalan tersebut.  "Ini lubang dalam atau tidak," tanya ku ke beberapa anak-anak.

Sigapnya, beberapa anak-anak mencoba mencontohkan ku melintasi lubang itu. Ternyata, memang mereka sudah terbiasa, dengan lincahnya, sudah seperti ahli petualang alam liar, mereka lancar sekali menaklukan alam goa Jepang Singkil. 

Pinggir-pinggir tebing goa yang berlubang dan bercadas jadi modal untuk memijak kaki, sebagai jalan untuk melewati lubang besar goa tersebut. "Ayo kak, lewati saja. Kakinya injak pinggir-pinggir tembok," kata Rivo mencoba mengajari dan menyemangati ku.

Lubangnya terbilang angker, apalagi suasananya gelap tentu tambah memacu adrenalin untuk menaklukannya. "Nanti kalau jatuh gimana ya, dalam tidak sumurnya. Ngeri juga ya, kelihatannya lubangnya dalam ya" tanya ku lagi dengan rasa penasaran, sambil bercampur aduk rasa takut.

Tenang saja, ujar Rivo, sumurnya itu tidak dalam, kalau pun jatuh pasti tidak apa-apa, paling hanya basah kakinya bila tercebur. "Ayo kak, ini saya senter jalannya biar kelihatan," tawaran Rivo dengan ikhlasnya membimbing perjalanan ku.

Sebagai pembuktian mengenai ukuran kedalaman jurang itu, Calvin, bocah lainnya mencoba memberi aku sebuah papan kayu yang panjangnya sekitar tiga meter. "Ini kak saya bawakan papan, buat jembatan melewati lubang," gagasnya.

Tawaran itu ku terima, setelah kulihat papan kayunya, sepertinya bukan solusi tepat, bukan alternatif jawaban. "Itu papannya tidak kuat kak. Pasti patah kalau diinjak," lontar Rivo.  

Ya, memang benar apa yang dikatakan Rivo, kulihat papan kayunya tidak kokoh, lentur sekali diinjak orang dewasa pasti patah. 

Tak habis akal, papan itu hanya ku fungsikan sebagai pengukur kedalaman lubang. "Oh ya ternyata tidak dalam ya," ujar ku, setelah ku cemplungkan papan itu ke dalam lubang.

Ternyata kedalaman lubang, hanya sekitar sampai paha orang dewasa. Berhubung lubangnya berair dan gelap, jadi secara kasat mata tidak diketahui kedalaman persisnnya. 

Bayangan saat itu, lubang itu dalam sekali, apalagi bagi mereka yang baru melihat, tentu lubang itu agak mistis. Tak lama, ku langsung memberanikan diri melewati lubang itu. 

Kaki ku mencengkram kuat tebing pinggir goa agar tidak terpeleset. Kedua tangan ku, kanan dan kiri memegang pinggir tembok bagian kiri dan kanan. Ini cara yang ku anggap sebagai penyeimbang badan, agar tidak jatuh. 

Langkah demi langkah, perlahan namun pasti, dapat ku gapai, berhasil lewati ringtangan ini. Kedua mata ku menatap ke langkah kaki ku, rasa takut yang sebelumnya mendekap hilang sekejap, ku niatkan kuat, bahwa aku berani menyebranginya, terbukti hanya memakan waktu sekitar dua menit dapat ku lintasi.

Usai berhasil lewati lubang "angker", dilanjutkan masuk ke dalam kompleks goa. Ku bersama-sama sejumlah anak susur goa bermodalkan alat penerang satu senter. Jalan goa lembab, basah berpasir. Di perjalanan ini agak lancar, pasalnya tidak ada lagi lubang di tengah jalan seperti di awal.

Suasana dalam goa ada saluran air dan coretan di dinding. (photo by rivo)

Sempat juga ku soroti lampu senter ke tembok goa, ternyata ada beberapa tulisan nama-nama orang. Ini pertanda, goa ini sering dikunjungi banyak orang, mereka yang datang iseng, menuliskan nama ditembok, atau bahasa gaul sekarang sering disebut bernarsis ria. Mungkin ini supaya menjadi catatan, bahwa orang tersebut sudah pernah memasuki goa.

"Sudah banyak yang sering datang, biasanya mereka datang tidak hanya sekedar datang, pasti ada yang tulis-tulis di tembok, sampai di dalam sekali juga ada kak, banyak sekali," ungkap Rivo, bocah berkulit sawo matang ini.

Sempat juga dinding tembok ku raba. Ternyata dinding goa bukan batuan keras, goa-nya itu dari tanah berpasir. Bila kita gores temboknya dengan mudah membentuk bekas. Pakai tangan saja, kita garuk ke dinding, maka akan rontok, berpasir kecoklat-coklatan. 

Tak berselang lama, tiba-tiba lampu senter yang ku sorot ke arah depan, jalur goa-nya bercabang, membentuk pertigaan. "Wah mau pilih lewat yang mana nih, kanan atau kiri," tanya ku ke sejumlah anak-anak. 

"Kalau ke kiri itu buntu kak, tidak ada jalan, sudah tertimbun tanah. Lebih baik kita lewat kanan saja, masih ada jalan banyak kalau kita ambil kanan," imbuh Rivo.

Tawaran Rivo pun akhirnya diterima. Kami ambil lorong kanan. Saat masuk ke lorong ini, agak berbeda, sebab kenapa begitu, di lorong goa ini ada saluran air yang masih membentuk rapi di bagian tengah kalur lorong goa. 

Saluran air ini selebar sekitar 25 centimeter, tapi untuk panjang salurannya belum diketahui berapa, sebab kami berada di dalam goa, tidak seluruhnya kami sambangi ruangannya.

Sumur mata air yang berukuran besar di lantai goa. (photo by Jongfajar Kelana)

Berjarak sekitar 20 langkah dari pertigaan goa, kami pun temukan lagi sebuah sumur. Kali ini posisi sumur berada di kiri samping jalan kami. Ukuran sumur agak lebar bila dibandingkan ketiga sumur sebelumnya. 

Untuk melihat sumur ini tidak bisa dilihat kalau tanpa bantuan senter penerang. "Masih ada airnya, bening ya airnya," kagum ku, sambil menyorotkan sumur dengan senter yang ku bawa.

Tidak jauh dari lokasi sumur ini, ternyata kami temukan lagi jalan pertigaan. "Kalau kita ke kiri itu ruang kamar saja kak," kata Rivo. 

Dan memang benar, saat ku pantau hanya sebuah ruangan kosong. Tapi dari di titik inilah, kami tidak lagi melanjutkan perjalanan, melihat kondisi yang tidak memungkinkan dan persiapan yang minim.

Pasalnya, medan yang ditempuh itu tambah menantang. Medan jalan banjir oleh mata air goa. Walau kedalaman tidak seberapa, hanya setinggi mata kaki orang dewasa, tapi bagi kami kalau melanjutkan perjalanan tidak akan kondusif, suasana gelap, dingin serta sedikit pengap, karena rendahnya kadar oksigen.  

Kemudian berbalik arahlah kami, kembali keluar goa dengan jalur yang serupa. "Ayo kita balik kanan saja. Tidak perlu kita lanjutkan lagi sampai ke dalam," tegas ku ke anak-anak, dan mereka pun mengamininya.

Berada di depan pintu masuk kamar jalur pertigaan goa. (photo by rivo)

Usai jelajah di sebagian goa, aku bersama anak-anak mampir kembali di kediaman Albert Mandey Roring. Bapak satu anak ini bercerita, keberadaan goa Jepang Singkil diperkampungan telah ada sejak lama, sebelum ia lahir.

Waktu itu, kata kakek Albert, goa Jepang Singkil dijadikan tempat persembunyian dan pengungsian bagi tentara Jepang dan pengikut-pengikutnya. 

Dahulu Jepang berperang dengan sekutu, negara Belanda, bila sudah terdesak kalah, maka goa menjadi tempat pelarian yang aman dan nyaman.

Hal ini dibenarkan secara langsung oleh Peneliti Muda Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado, Agus Waluko mengatakan, keberadaan goa Jepang tidak hanya ada di Kota Manado, tetapi juga tersebar di beberapa daerah provinsi Sulawesi Utara.

"Goa Jepang itu saksi mata jaman perang dunia. Fungsinya untuk tempat perlindungan tentara Jepang, pengintaian musuh Jepang, biasanya menghadap ke arah perairan laut," ungkap pria berkaca mata ini. 

Semestinya goa Jepang itu dapat jadi aset penting sebagai sarana gudangnya ilmu. Sebagaimana pendapat dari Mahyudin Damis, Ahli Antropologi Sulut dari Universitas Sam Ratulangi, bahwa situs-situs sejarah dan budaya itu bisa dijadikan sarana pendidikan bagi generasi muda. "Makanya Pemda setempat harus bertanggungjawab atas situs-situs yang ada," tegasnya.

Menurutnya, Pemerintah Daerah (Pemda) harus mengelolanya secara maksimal, ini wajib dilakukan. Karena itu, Pemda setempat harus dapat berpikir ratusan tahun ke depan, memiliki visi jauh generasi mendatang.

"Kita harus membayangkan bagaimana generasi muda kita ke depan, tak bisa lagi melihat dengan mata kepalanya sendiri atas bukti-bukti sejarah bahwa kita pernah dijajah oleh bangsa asing melalui saksi bisu yang mereka tinggalkan," tutur pria keturunan darah Makassar, Sulawesi Selatan ini.

Sebenarnya, dari warisan jaman perang dunia itu, generasi muda akan mendapatkan pembelajaran yang berguna. Meskipun bangsa penjajah dahulu memiliki seperangkat alat yang lebih canggih dan pengetahuan yang jauh lebih maju untuk ukuran masa itu, tetapi bangsa Indonesia mampu merebut kemerdekaan atas usahanya sendiri.

"Pelajaran apa yang bisa diperoleh generasi muda adalah semangat para pejuang kemerdekaan dikala itu. Lewat goa Jepang kita dapat terus menumbuhkan semangat genarsi muda kita dalam mengisi kemerdekaan. Dahulu para pejuang 68 tahun silam hanya bermodalkan peralatan dan pengetahuan seadanya bisa berjuang mencapai negara yang merdeka," urainya.

Kata Albert Mandey Roring, goa Jepang Singkil itu, dahulu panjangnya sampai daerah Sindulang yang tembus ke arah  pantai. Selain sebagai tempat mengungsi, goa itu juga jadi lokasi pertahanan perang, tempat pengintaian musuh dan jadi jalur pelarian dari jalur darat ke perairan laut.

"Goa-nya dulu itu bisa tembus sampai pantai. Tapi sekarang mulut goa yang tembus ke arah pantai sudah tertimbun tanah, tertutup tidak bisa dilewati lagi," ungkap Max, panggilan akrab Albert Mandey Roring.

Berbicara mengani tata letak, goa ini memiliki berbagai ruangan kamar. Kata Max, ruang kamar pertama itu ukurannya sekitar 4x4 meter, sementara kamar yang kedua itu sekitar 3x2 meter, yang di dalamnya berisi fasilitas dua ranjang. 

Posisi kedua kamar itu agak jauh, berjarak sekitar 25 meter. "Mungkin saja dulu ada kamar buat tempat peristirahatan," urai pria kelahiran Manado 20 April 1959 ini.

Albert Mandey Roring warga Singkil 1 yang rumahnya dekat Goa Jepang. (photo by Jongfajar Kelana)

Meski demikian, goa Singkil itu tidak pernah terjadi hal-hal yang aneh, mistis, peristiwa menyeramkan dan bencana segala rupa. 

Malahan, kata Max, banyak orang yang merasa penasaran isi dari goa, atau sekedar ingin meneliti dan mencari harta karun peninggalan perang Jepang.

"Dulu pernah ada sekitaran tahun 1980-an, datang orang-orang ilmuwan dari Australia. Melacak menari harta karun di dalam goa, tapi hasilnya nihil," tutur Max, diakhiri dengan tawa suara ringan.

Kemudian lagi, di sekitar tahun 1990-an, ada puluhan turis dari Jepang yang datang ke Manado, mengunjungi goa Jepang. Jumlah turis asal Jepang yang datang seingat Max, totalnya mencapai 50 orang dengan usia yang memasuki hampir separuh baya, sudah tua-tua.

"Mereka mengaku, dari beberapa turis itu, ada yang veteran perang yang pernah tugas di Goa Jepang Singkil. Ia bila mau mengingat lagi masa dulu saat ikut berperang," ungkap Max, yang juga kesehariannya bekerja sebagai polisi Republik Indonesia. 

Lalu di dalam goa teradapt banyak sumur air, dan genangan air disebabkan goa jepang ini merupakan lokasi sumber mata air tanah. 

Dahulu, ungkap Max, sekitar tahun 1970 dari Balai Pengawas Obat-obatan dan Makanan Manado berkunjung ke goa, meneliti dan menguji kualitas air di goa.

"Hasil uji Balai POM, ternyata kandungan airny aman dikonsumsi. Tidak mengandung zat berbahaya. Airnya bisa langsung diminum, kandungan mineralnya sangat bagus," kata bapak dari Meraldo Mosat Roring ini.

Semenjak itulah, beberapa warga setempat memanfaatkan goa untuk mencari sumber air bersih. Pengalaman yang terjadi juga di tahun 1970, ujar Max, saat terjadi musim kemarau panjang, warga banyak mengantri mengambil air. 

"Hitungannya, seluruh warga Manado Utara mengantri ambil air disini. Saat itu, antriannya berlangsung sampai 8 bulan," tutur pria keturunan darah Suku Bantik ini.

Walau musim kemarau panjang, tambah Max, mata air di goa tidak kering. Karena itu, sebagai pewaris lingkungan, warga setempat yang berada di seputaran goa dianjurkan, turut menjaga kelestarian alam agar sumber air tanah tetap terjaga baik.

"Selain nilai sejarahnya kita jaga, juga kita imbangi kelestarian alamnya, jangan dirusak kalau kita tidak mau rugi," tegas Max, yang juga kesehariannya dipercaya sebagai Kepala Komite Perkuburan Bantik ini. ( ) 
            

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN